Hari itu sangat terik. Kutunggangi dengan malas motorku. Sesekali menoleh kanan kiri, melihat sekitar sampai seorang dengan rambut ikal melambaikan tangan ke arahku.
“Udah gak ngambeg lagi ternyata,” sambil menyodorkan helm, kubuka percakapan.
“Loh, kapan aku ngambeg?” tanya anak yang tadi memanggilku.
“Kemarin, kamu ketus banget. Takut aku, kiranya bakal dilaporin ke Mama”
“oh,”
“Kamu sekarang pelupa, ya, Dan."
Seseorang yang kini di belakangku tak melanjutkan percakapan. Hanya diam, menyimak angin yang datang sepoi-sepoi. Kutancapkan gas. Motor melaju cepat. Membawa rambut ikalnya terlambai lambai, kulihat di kaca spion.
Motor melaju pelan, lalu berhenti di depan rumah bersih berpagar putih.
“Dante!” panggilku ketika sosok yang ada di belakangku turun dari motor. Ia hanya menoleh, matanya mengatakan ‘apa?’
“Ini bukumu, tidak jadi aku pinjam, kemarin soalnya kamu marah-marah nggak jelas. Oh, ya. Buku tugasku yang kemarin sudah, kan? Besok kembaliin, ya. Soalnya pelajarannya Pak Budi galak banget kalo nggak ngerjain PR”
“Ha? Buku? Oh, iya iya. Aku lupa juga, haha. Memang kemarin aku semarah apa, coba?” Aku diam. Dia diam setelahnya. Kubawa motor pergi. Ada yang aneh! Pikirku.
Dia Dante, tetanggaku. Jarak rumah kami hanya terpisah gang, dia tinggal di kota ini sewaktu kecil, besarnya ia pindah ikut Ayahnya. baru tahun ajaran ini dia kembali lagi ke kampung halamannya, karena rumah itu kosong. Neneknya meninggal.
Dia Dante, tetanggaku. Periang, pintar, namun aneh. Akhir-akhir ini dia pelupa. Bukan, bukan lupa ceroboh, tapi lupa yang tidak biasa. Minggu lalu dia lupa kalau dia membolos sekolah, lusa dia lupa jika dia keluar dari tim basket dan marah-marah di depan Bu Bini, penjaga perpustakaan, dan hari ini, ia seolah melupakan segala sesuatu yang terjadi kemarin siang, hari di mana sorot matanya menjadi tidak biasa, hari dimana ia lebih menghabiskan waktu untuk diam daripada menceritakan cerita lucu.
Pagi ini sepertinya akan sama dengan kemarin, matahari tanpa malu menampakkan dirinya. Kusandang tas dengan sembarang, lalu memutar motor ke rumah pagar putih lagi. Terlihat dante di sana, dengan wajah murung. Ada apa?
“Em, begini, maaf ya, aku lupa di mana aku menaruh bukumu,” aku terbelalak mendengarnya bicara.
“Jadi gimana?” dia mendongak ke arahku. Aku tahu dia masih dante yang kemarin meski raut cerianya pudar. Namun aku masih bertanya-tanya.
“yasudah, ayo berangkat dulu” aku menghela napas, menunggunya lama memakai helm. Ada apa dengan dante?
Komentar
Posting Komentar