Sisi Gelap Dante - bagian 3 Tamat

Aku terbaring di bed yang paling kubenci, orang-orang bepakaian putih berlalu lalang. Ada jarum, injeksi, selang di mana-mana. Dante? Dia di sampingku. Masih belum sadar. Rasanya kesadaranku belum kembali sepenuhnya ketika lelaki berpakaian abu-abu dengan rompi kuning mendekat. Menanyaiku singkat, tadi dari mana, mengapa bisa terjatuh, lihat ‘pelaku’ yang menyerang atau tidak. Namun aku hanya diam. Lupa.

Dan begitulah, polisi tadi menyerah dengan kedunguanku, ia berpamitan dengan orang-orang yang ada di sana, lalu pergi. Kasusku selesai. Mereka bilang aku dan Dante diserang orang mabuk yang kebetulan tadi berada di jalanan sepi. Namun entahlah, instingku menyangkalnya.

Seminggu setelah kejadian itu, Dante menghilang. Aku tak pernah melihatnya, di rumah, di tribun futsal, atau di sekolah. Dia seperti bensin yang dituangkan di tangan, lalu tertiup angin. Teman-temanku tak tahu, atau bahkan tak ingin tahu di mana Dante. Namun yang jelas wali kelas kami bilang Dante pindah.

Hari terus berlalu. Ibuku juga tidak pernah menceritakan Dante padaku. Rumah pagar putih itu kosong. Tidak ada tanda-tanda manusia di sana. Semuanya kembali seperti setahun lalu, sunyi.

Sampai seminggu setelah pengumuman libur aku melihat ada tanda kehidupan di rumah pagar putih. Aku mengingatnya, senyumnya kala itu, aku merindukannya, kami berbincang lama di taman persimpangan jalan, Dante bilang dia harus pindah mendadak kala itu, ayahnya pindah tugas. Aku ingat sore itu kala mengayunkan ayunan untuknya, senang melihat rambutnya yang terurai dimainkan angin senja. Setelah langit menjingga aku pamit, pulang.

“Nabil!”

Ibuku memanggilku, mengurungkan niatku yang ingin cepat-cepat mandi. Aku duduk di sampingnya.

“Ma, Dante pulang, ya. Kok Mama nggak pernah kasih kabar ke Nabil?”

Ibuku terbatuk sedikit, kaget. Lalu dia memandangku lekat-lekat.

“Bil, Ibunya Dante balik ke Pontianak buat upacara pemakamannya Dante, loh”

Kali ini aku yang tercekat, membuat darahku berdesir.

“Dante itu, setelah keluar dari rumah sakit sama kamu dulu, Dokternya bilang dia punya kepribadian ganda. Harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ayahnya bawa dia ke Jawa. Jogja atau ke mana gitu. Tapi di sana dia nggak kerasan, suka kabur. Terakhir kali kabur ya dia ketabrak sama kendaraan itu,”

Ibuku meneruskan bicaranya, membuat dadaku berdegup kencang, gemetaran sekujur badan. Buru-buru aku naik lantai menuju balkon, kusibak tirai gorden, melihat ke seberang jalan, tepat pada balkon kamar Dante. Dia di sana. Mengawasiku, diperlihatkan gingsulnya, melambai ke arahku, seolah ia bilang ‘tunggu, jangan ke mana-mana, aku mau ke sana,’

Badanku semakin gemetar, basah kuyup bajuku, semakin kabur aku melihat jendela itu. Lalu kurasakan hawa dingin di belakangku, bersama tangan dingin yang mencengkaramku di kerah leher, berusaha mencabik mukaku lagi. Kali ini lebih sakit, karena aku melihat siapa ‘pelakunya’. Dante! Namun aku tak lagi bisa berteriak, karena pita suaraku telah terputus oleh tajamnya kapak. Kini aku hanya diam, mendera dalam gelap. Tanganku dingin, dan setidaknya tubuhku agak membaik, karena degup jantungku yang tadinya berdebar kini sudah berhenti. (*)

Komentar

Posting Komentar