Sisi Gelap Dante - bagian 2

Hari ini aku beruntung. Pak Budi tidak datang, jadi perihal aku tidak bawa buku tugas tak menjadi masalah. Namun hari ini juga rasa penasaranku pada dante kian memuncak, setelah kutemukan bukuku di kamar mandi sekolah. Kenapa ada di sini? Pikirku. Pintu tiolet tergedor keras, sepasang sepatu yang basah melangkah keluar, Dante! Sedang apa dia di sini?

“loh, Dan, kamu seharusnya sudah pulang. Ini kan sudah sore,” ia diam. Tak acuh. Darahku berdesir, rasanya ini bukan dante, mengapa ia hanya diam? Aku mencoba memancingnya bicara.

“Dan,” aku hampir meraih pundaknya ketika tangan dinginnya menghalauku, ia menatapku, tatapan yang tak pernah kukenal selama 15 tahun mengenalnya. dante menghilang, ditelan gelapnya lorong-lorong kelas yang ia lewati dengan begitu cepat. Ia lari.

Kejadian itu kualami bukan lagi satu dua kali, sebulan ini, aku seolah telah menjumpai dua Dante. Kadang periang, kadang murung. Dan semua itu terjadi tanpa alasan yang jelas. meski sampai saat itu, Dante masih baik-baik saja padaku, hingga suatu kejadian besar menimpaku. Kejadian yang menjadi kunci dari semua pertanyaanku pada Dante.

Adalah pada malam minggu ke tiga, bulan september. Ketika tubuhku basah akan keringat malam sepulang futsal, Dante menelponku. Ia bilang tak berani pulang sendiri. Ketika aku menanyai posisinya, Betapa terkejutnya, malam larut seperti ini mengapa dia ada di gedung sekolah?

Motor kuputar balik. Kembali ke jalur menuju sekolah. Dante menunggu lesu di halte yang remang-remang. Semakin mendekat semakin jelas kejanggalan hari itu. Tangan Dante. Ya! Tangan yang biasa terlambai ketika melihatku kini diam, terbalut bebat perban, seperti ada insiden besar yang menimpa dante malam itu.

Diam, lalu dia naik ke motor. Aku terlalu malas untuk menanyakan apa yang terjadi. Namun aku ingat, ada bau yang menyengat di tempat itu. Bau busuk yang bercampur dengan bau bensin dan besi karat. Samar-samar juga kucium bau antiseptik rumah sakit. Motor melaju, namun Dante tak juga angkat bicara.

“Dan, kamu harus jujur. Ada apa sama kamu? Ngapain malam gini ke sekolah? Tanganmu kenapa? Aku cerita apa sama Mama kamu nanti?” dante diam. Tetap diam.

“dan, kenapa kamu aneh akhir-akhir ini? Pagi masih senyum-senyum, sore uring-uringan nggak jelas. Tahu, gak. Rasanya aku bicara sama dua orang yang beda gitu,”

Uhuk.. uhuk.. uhuk...  uhukkkk!

Aku tak tahu di mana kesalahanku. Apakah aku terlalu menyingung Dante atau bagaimana. Dante terbatuk. Batuk hebat, lebih dari tersedak.

Brukk!..

Dante jatuh, terguling dari motor. Buru-buru turun dari motor, kulihat darah mengalir dari telinga Dante. Nafasnya tersengal, meringkuk memeluk lutut di bahu jalanan sepi. Hanya ada sebatang tiang lampu yang menyoroti kami. Kupegang tangannya, jantungnya bergedup hebat, kuseka keningnya, dingin. Seperti mayat.

Entah sampai berapa detik aku ternganga, hingga sepasang tangan dingin mencengkeramku kasar, mengerutkan kerah leherku, rasanya wajahku dicabik-cabik. Namun aku hanya diam, diam yang lama, dan semuanya gelap. Sampai mataku terbuka dan aku mencium bau antiseptik. Lagi. Namun kali ini aku berada di tempat yang berbeda, ada ibuku, ada ayahku, ada ibu-ayah dante juga.

Komentar